
rudyspramz, MPI
Dalam sebuah podcast yang membahas peluang kolaborasi antara NU dan Muhammadiyah, muncul wacana menarik : mendirikan Sekolah Bersama, pelajaran umum diserahkan pada model Muhammadiyah, sedangkan pelajaran agama, terutama ngaji, dipercayakan kepada metode NU. Sekilas terdengar harmonis. Namun, wacana ini mengundang refleksi lebih dalam : apakah kolaborasi harus mengarah pada penyeragaman? Apakah semangat bersatu berarti meniadakan identitas ? Identitas itu terkait paham dan amaliyah keagamaan yang berbeda, ketika wacana pendidikan agama diserahkan kepada NU maka menghapus substansi keragaman itu sendiri, demikian pula sebaliknya.
Kolaborasi: Ya. Penyeragaman: Tidak.
Sebagai dua pilar utama Islam di Indonesia, NU dan Muhammadiyah memiliki tanggung jawab besar dalam membina umat dan memajukan bangsa. Keduanya telah lama menunjukkan kiprah nyata dalam pendidikan, dakwah, dan pembangunan sosial. Maka, jika ada semangat untuk memperkuat kolaborasi, itu tentu layak diapresiasi. Namun, kolaborasi harus tetap berlandaskan keadilan dan penghormatan terhadap identitas masing-masing.
Perlu ditegaskan : tidak semua hal harus disatukan. Terutama dalam hal pemahaman keagamaan karena kalau kita mau terus terang tidak sekadar bersifat furu’iyah (cabang), tapi juga menyentuh wilayah ushuliyah (pokok-pokok agama). NU dan Muhammadiyah memiliki pendekatan metodologis yang berbeda terhadap sumber ajaran Islam. Ini bukan soal benar dan salah, tapi soal cara memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang beragam.
Maka jika dalam semangat kolaborasi justru muncul gagasan yang menganggap semua paham keagamaan adalah benar sehingga tidak kalau diajarkan oleh salah satu organisasi bisa memunculkan kesan bahwa satu pihak harus mengalah dan meleburkan identitasnya. Ini bukan kolaborasi, tapi asimilasi yang berbahaya.
Perbedaan Adalah Aset, Bukan Ancaman
Kita harus punya keberanian untuk mengatakan bahwa perbedaan antara NU dan Muhammadiyah bukan hanya pada cara berdoa atau gaya berpakaian, tapi menyangkut cara berpikir, manhaj (metodologi), dan ideologi. Perbedaan itu bukan kelemahan, tapi aset intelektual dan spiritual yang memperkaya Islam Indonesia.
Menghapus perbedaan demi keseragaman justru akan menghilangkan keragaman dan kekayaan itu. Maka, yang dibutuhkan bukanlah menyatukan pemahaman keagamaan, melainkan membangun ruang kolaborasi yang adil dan setara dalam ranah yang bersifat muamalah seperti : masalah Pendidikan umum dan teknolog, pemberdayaan ekonomi umat, penguatan institusi sosia, Advokasi isu lingkungan dan kemanusiaan. Di wilayah-wilayah ini, NU dan Muhammadiyah bisa saling belajar, saling mengisi, dan saling menguatkan.
Membentuk Kader yang Melek Perbedaan, Bukan Fanatik Buta
Satu hal yang juga perlu mendapat perhatian adalah bagaimana kita menyiapkan generasi muda agar memahami ideologi organisasi dan paham keagamaannya Kader muda bukan untuk menjadi eksklusif atau fanatik, melalui penanaman dan penguatan paham keagamaan lewat diskusi, study komparatif dan menggembirakan kita berharap kader muda memiliki identitas keilmuan yang kuat, dan pada saat yang sama, memiliki wawasan yang luas, terbuka terhadap dialog dan kerja sama.
Proses pembelajaran harus berbasis pada diskusi terbuka, perbandingan metodologis, dan sikap wasathiyah (moderat). Dari sini akan lahir intelektual muda Islam yang tidak gampang terprovokasi oleh perbedaan, tapi justru menghormatinya sebagai bagian dari kekayaan khazanah Islam.
Belajar pada yang Ahli, Tanpa Minder
Kita tidak harus merasa rendah diri untuk belajar kepada yang lebih ahli. Jika NU memiliki keunggulan dalam tahfidz dan tahsin, sangat sah dan mulia bagi kader Muhammadiyah untuk belajar kepada mereka. Begitu pula sebaliknya, jika Muhammadiyah lebih maju dalam sistem pendidikan dan pengelolaan amal usaha, kader NU pun bisa berguru.
Inilah hakikat kolaborasi sejati: bukan siapa di atas siapa, tapi siapa bisa apa.
Penutup: Kita Tidak Perlu Sama untuk Bisa Bersama
NU dan Muhammadiyah lahir dari semangat yang sama: memajukan umat dan menjaga ajaran Islam. Tapi mereka memilih jalan yang berbeda. Bukan untuk bersaing, tapi untuk melengkapi.
Kita tidak perlu takut pada perbedaan. Yang perlu diwaspadai justru adalah ketika perbedaan itu ingin dihapus demi “persatuan semu” yang melemahkan kekayaan kita sendiri.
Kolaborasi yang sehat bukan tentang menyamakan semuanya. Tapi tentang berjalan bersama dengan tetap menjaga jati diri masing-masing. Karena kita tidak perlu sama untuk bisa bersama.
Wallahu a'lam
Comments
No comments yet. Be the first to comment!