
rudyspramz, MPI
Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, kita menyaksikan perdebatan klasik yang tak kunjung usai antara pendekatan tekstual dan kontekstual literal dan takwil dalam memahami ilmu Kalam. Polemik ini telah melahirkan berbagai mazhab teologi seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Murji’ah, Jabariyah, dan Qadariyah yang masing-masing berusaha merumuskan kebenaran dalam bingkai pemahaman zamannya. Sayangnya, perbedaan ini tidak selalu memperkaya khazanah keilmuan umat, tetapi kerap kali justru melahirkan perpecahan dan saling menegasikan.
Hari ini, situasi serupa masih terjadi. Perdebatan yang mengemuka, terutama antara kelompok Salafiyah dan Nahdliyah, sering kali terjebak pada soal identitas, bukan pada upaya membangun nalar keilmuan yang mencerahkan. Alih-alih menghasilkan solusi untuk persoalan umat, diskursus yang berkembang justru menjauh dari substansi yakni kemanusiaan dan perbaikan kondisi riil masyarakat.
Sudah saatnya kita merefleksikan ulang : untuk apa ilmu kalam, fiqh, bahkan tasawuf sekalipun, jika tidak mampu menjawab tantangan zaman? Apakah agama hanya akan dipertahankan dalam bentuk simbolik dan retorik, tanpa transformasi sosial yang nyata ?
Umat membutuhkan pemikiran yang lebih membumi, bukan yang berkutat dalam polemik tanpa arah. Kita memerlukan sintesis baru yang menempatkan wahyu dan akal dalam dialog harmonis, yang tidak hanya berpijak pada warisan klasik, tetapi juga mampu membaca realitas kekinian secara arif, solutif, kolaboratif dan umat menunggu itu.
Wallahu a'lam
Comments
No comments yet. Be the first to comment!