
rudyspramz, MPI
Dalam dinamika kehidupan berbangsa yang kian kompleks, keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang tajdid (pembaharuan) dan berpijak pada amar ma’ruf nahi munkar, menjadi mercusuar moral di tengah gelombang pragmatisme politik yang tak jarang menyesatkan arah.
Kepribadian Muhammadiyah secara tegas menempatkan dirinya sebagai gerakan kemasyarakatan, bukan gerakan politik partisan, apalagi terlibat dalam politik praktis. Prinsip ini bukan sekadar doktrin organisasi, melainkan manifestasi dari tanggung jawab moral dan historis Muhammadiyah untuk menjaga jarak dari kontestasi kekuasaan yang rentan memecah ukhuwah dan mengaburkan dakwah pencerahan.
Namun realitas kadang menguji prinsip. Ketika salah satu pimpinan organisasi (ortom) Muhammadiyah memilih menjadi bagian dari tim sukses kontestan pemilu atau bahkan menerima jabatan politik seperti menteri, muncul pertanyaan mendasar: Masihkah ia dapat memegang teguh kepribadian Muhammadiyah? Mampukah ia memilah antara suara pribadi dan suara organisasi, jika masyarakat memandang semua itu sebagai representasi Muhammadiyah ?
Jawabannya menuntut kedewasaan berorganisasi dan keikhlasan untuk menempatkan marwah Muhammadiyah di atas ambisi pribadi. Dalam situasi semacam ini, idealnya adalah mengundurkan diri dari posisi kepemimpinan di Muhammadiyah, agar tidak menimbulkan bias, kerancuan, atau bahkan kekecewaan dari warga persyarikatan dan masyarakat luas.
Sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah memang tidak bisa diam terhadap isu-isu politik kebangsaan. Tetapi suara politik Muhammadiyah bukanlah dukungan terhadap kandidat atau partai tertentu, melainkan seruan moral untuk menegakkan keadilan, kejujuran, dan keadaban dalam berpolitik.
Maka, sebagaimana ditegaskan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, semua pernyataan politik Muhammadiyah adalah yang dikeluarkan resmi oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ini adalah penegasan yang penting, sebagai penanda bahwa Muhammadiyah tetap dalam khittahnya, berdiri di atas semua golongan, menjauhi politik praktis, namun tetap bersuara untuk kebaikan umat dan bangsa.
Dalam masa penuh ujian ini, marilah kita kembali meneguhkan komitmen pada Kepribadian dan Khittah Muhammadiyah. Menjaga jarak dari politik praktis bukan berarti abai terhadap urusan publik, melainkan cara bijak untuk menjaga kemurnian dakwah dan kejernihan pandangan dalam menuntun umat menuju kehidupan yang berkemajuan.
Muhammadiyah bukan milik kekuasaan, tetapi milik umat dan bangsa. Karena itu, menjaga netralitas bukan kelemahan, melainkan kekuatan moral yang langka dan sangat dibutuhkan zaman ini. (rdp).
Comments
No comments yet. Be the first to comment!