
rudyspramz, MPI
Delapan dekade sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, kita layak merenung: apakah kemerdekaan itu telah benar-benar menyentuh setiap jengkal tanah air, dari ujung barat Aceh hingga pelosok Papua dan kepulauan Maluku?
Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan fisik, tetapi tentang hadirnya keadilan, kesejahteraan, dan rasa memiliki bagi seluruh rakyat—tanpa terkecuali. Kenyataannya, sejumlah wilayah di Indonesia masih merasa termarjinalkan. Daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Aceh, Papua, Maluku, hingga Kalimantan menyuarakan kegelisahan yang tak bisa diabaikan: mengapa kekayaan alam kami tidak menjadi kemakmuran kami?
Pernyataan-pernyataan reflektif dari pemimpin daerah, termasuk dari mereka yang pernah berada dalam pusaran konflik masa lalu, adalah cermin bahwa kompromi politik tidak cukup jika tidak disertai dengan keadilan substantif. Demokrasi memberi ruang untuk bicara, namun tidak boleh berhenti pada wacana. Ia harus diterjemahkan menjadi keberpihakan terhadap rakyat—terutama mereka yang selama ini merasa menjadi penonton pembangunan.
Wacana pemisahan tidak muncul dari ruang kosong. Ia tumbuh dari rasa kecewa yang terus dipendam, dari ketimpangan yang terus terjadi, dari janji-janji yang belum ditunaikan. Namun, kita sebagai bangsa punya pilihan: merawat luka itu atau membiarkannya bernanah hingga tak terbendung.
Kita tidak bisa lagi membungkam suara-suara dari pinggiran dengan pendekatan keras seperti masa lalu. Dunia telah berubah. Kini, kekuatan sebuah bangsa tidak diukur dari tangan besi, melainkan dari seberapa mampu ia mendengar, memahami, dan memperbaiki.
Indonesia tidak akan utuh karena paksaan, tetapi karena keadilan. Ia akan kuat bukan karena takutnya rakyat, melainkan karena cintanya mereka pada tanah air ini. Cinta hanya tumbuh jika ada rasa dihargai, dilibatkan, dan diberi harapan.
Menuju 80 tahun Indonesia merdeka, marilah kita bukan hanya merayakan simbol, tapi juga menyelesaikan substansi. Ini adalah momentum untuk menjadikan demokrasi bukan sekadar prosedur, melainkan sarana transformasi nyata. Agar anak-anak di Papua tidak lagi harus menempuh puluhan kilometer demi sekolah. Agar nelayan di Maluku tidak lagi kesulitan mengakses pasar. Agar petani di Aceh merasakan harga yang adil. Agar Kalimantan yang menjadi paru-paru dunia tidak menjadi korban atas nama pembangunan yang tak berpihak.
Jika keadilan menjadi napas kita bersama, maka tidak ada daerah yang akan ingin pergi. Karena mereka merasa menjadi bagian utuh dari rumah besar bernama Indonesia.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!